Saturday, March 21, 2009

mati

Malam ini, saya teringatkan mati.
Kematian sungguh jarang sekali berlaku dalam kehidupan saya.
Saya pernah melihat kain kapan putih yang membaluti jenazah cuma tiga kali.
Itupun sewaktu saya masih kecil.

Pathetic.

Kali pertama, saya ingat saya duduk di atas riba Mother dalam rumah kampung. Emotionless. Tak takut pun.
Kali kedua, saya sudah besar sedikit. Saya sempat menyingkap di sebalik tabir untuk curi-curi melihat proses memandikan jenazah. Kemudian, saya kembali bermain.
Kali ketiga merupakan kematian moyang saya.

Moyang saya bukanlah seorang yang asing bagi saya. Father merupakan cucu yang paling rapat dengan beliau, maka Father selalu menjemput moyang saya untuk tinggal bersama.

Tidak tahulah mengapa, tetapi saya kurang senang dengan moyang saya. Mungkin sebab saya masih kecil, saya tak suka melihat orang tua kurus yang berkedut-kedut. Mungkin sebab saya sedang meningkat remaja (padahal baru 9 tahun), saya tidak suka moyang saya memerhatikan gerak geri saya. Mungkin juga sebab saya seorang yang agak 'cold' dalam keluarga, saya tidak pernah berborak dengan moyang saya. Pendek kata, I couldn't care less about her.

Sepanjang tahun-tahun terakhir kehidupan beliau, beliau rotate tinggal di rumah adik-beradik Father saya sebab Father dalam proses tukar tempat kerja.

Kemudian, beliau jatuh sakit lalu pulang ke kampung. Nature took its course dan beliau pun meninggal dunia.

Kami pulang ke kampung. Father tentu sekali devastated. Saya? Saya tiada perasaan. Tak menangis pun. Perlu ditolak-tolak untuk mencium mayat beliau.

Tapi sejujurnya, kematian beliau tidak membawa apa-apa makna pada saya. I didn't feel the emotional attachment.

What was wrong with me, I don't know. (Sekarang menyesal sebab saya sepatutnya sayang dan melayan beliau dengan baik. Kini saya takut jika cucu-cucu saya pula tidak sayang pada saya)

Beberapa tahun kemudian, atuk saya pula meninggal dunia. Saya tidak tahu pun beliau sudah pergi sebab tiada siapa beritahu saya. Apabila berita sampai ke pengetahuan saya, sekali lagi saya emotionless. Nak buat macam mana, saya tidak pernah rapat dengan beliau. I have no significant memories with him.

Dalam hati saya, saya tak faham pun apa significant merahsiakan kematian beliau daripada saya. It's not like it's going to affect me or my studies that much.


Malam ini, saya bertanya pada diri sendiri, kenapa. Kenapa saya tidak ada hubungan dengan my extended family macam orang lain. Kenapa saya tidak rapat dengan atuk dan nenek saya (maternal and paternal sides). Kenapa saya rasa macam mereka semua unrelated to me.

Semasa saya kecil, lebih kurang umur 9-10 tahun, ada satu fasa di mana saya seringkali, terutamanya sebelum tidur, saya terbayangkan jika Mother meninggal dunia, bagaimanakah saya hendak meneruskan kehidupan saya. Saya terlalu engross dengan imaginasi tersebut, malam saya akan diakhiri dengan tangisan yang teresak-esak.
Mother pernah tanya, "Kamu kenapa?" Saya tidak menjawab dan sedaya upaya berhenti menangis dan tidur. Mother tak pernah tahu the real reason why I cried at nights.

Ini buktinya, saya bukanlah seorang kanak-kanak yang stoic.

Saya juga pernah menangis berhari-hari apabila mendapat tahu Father membuang kucing pertama saya and her kittens. Waktu itu, saya sering berharapkan she could find her way home. Saya selalu juga anticipate setiap kali hendak pergi ke pasar supaya dapat terserempak dengan kucing itu.
Itulah kucing yang paling saya sayang sekali. Dan sejak itu juga, saya sudah tidak berani untuk menyayangi kucing secara berlebihan sebab takut hati saya sakit kalau apa-apa terjadi kepada mereka. Sekarang, bagi saya, they are just pets.

I miss you, Adra. I'm sorry Father disowned you. :(

Berbeza dengan sekarang, saya dapati saya mudah menitiskan air mata even for people I don't know. Tengok gambar-gambar pun sudah boleh membuat hati saya sayu. Menonton program Bersamamu TV3, menonton filem sedih, menonton berita, mendengar cerita orang, membaca suratkhabar tentang pencuri dan pembunuh pun saya boleh menangis untuk mereka (sebab kasihan sangat). Sekarang, dengan orang-orang biasa, dengan barang-barang pun saya boleh rasa a sense of attachment to them.

Kini, saya telah dewasa dan saya menyesal and the only way I can make up for it is by praying for them. Kadang-kadang, saya rasa agak peliklah juga sebab I am practically praying for strangers, y'know. Saya cuma tahu mereka merupakan darah daging saya, itu saja. But the least I could do is to doa for them because that's all they have, anak cucu, me. Saya berharap, lepas saya meninggal dunia nanti, anak cucu saya akan selalu menyedekahkan ayat-ayat Al-Quran dan mendoakan untuk saya.

Kalaulah ada mesin merentas masa, saya ingin sekali melawat diri saya sewaktu kecil dan bagi satu dua tamparan sebab I was very bitter and egoistic. Saya ingin mengajar diri saya, if people aren't nice to me, that does not mean I don't have to be nice to them. If people aren't nice to me, that doesn't mean they are not nice people. If people aren't nice to me, let it go, don't hold grudges, dammit! Different people have different ways to show their love and kindness.

Seriously, I wish I knew that earlier.

Beware my children, these would be one of the first lessons that I will make sure they get into your heads.
(Sekarang saya sudah mula menyimpan the lists of 'The Things I Want My Children To Know'. Lain kali saya akan cuba transcribe list itu dalam bentuk tulisan supaya saya tidak lupa.)

2 comments:

Lollies said...

I feel that you are writing my life stories (plural is much intended).

I didn't cry for my nenek and both my atuks. especially on the father's side. Nor my only known moyang.

I fikir2 banyak kali pun i still cannot cry. The only thing i regret is my nenek on my mum's side because now I know her ordeal raising her children and regretted not talking to her about her determination and all her semangat.

But now many things make me cry. I surprise myself sometimes.

the artist and i said...

termenung sat.